“Hilang” membuahkan trauma
Ketika mendengar kata hilang, yang ada dalam benak seseorang adalah panik, takut, cemas dan terkadang terlintas pikiran-pikiran yang tidak masuk akal. Kata hilang membuat sebagian orang trauma dengan kisahnya masing- masing.
Tragedi kehilangan sudah beberapa kali terjadi terhadap kedua anakku. Pada anak pertamaku, sempat membuatku panik, bahkan satu RT pun ikut mencari. Waktu itu aku baru saja keluar dari rumah sakit setelah pasca operasi untuk melahirkan anak keduaku.
Aku berteriak memita tolong kepada warga, mereka pun menghampiriku sambil berlari dan membantuku untuk keliling mencari anakku yang hilang, sedih rasanya karena aku tidak bisa ikut serta dalam mencari anakku karena luka operasiku masih perih. Tak lama aku teringat bahwa sebelumnya dia mengajakku pergi untuk membeli makanan favoritnya. Aku langsung mengarahkan warga untuk mencarinya ke salah satu tempat perbelanjaan yang sering dia kunjungi bersamaku.
Rasa sedihku semakin terasa ketika ibu RT mengumumkan berita kehilagan melalui pengeras suara di masjid bahwa ada seorang anak laki-laki berumur 3 tahun menggunakan baju merah dan celana putih.
Seorang warga menuju rumahku sambil berlari dan mengatakan anak ibu telah ditemukan, ternyata betul dia pergi untuk belanja, tetapi karena makanan favorit yang dia ambil belum diberi kantong oleh penjualnya, jadi tidak mau pulang. Pembicaraan yang tidak nyambung karena anakku mengalami gangguan berbicara pada saat itu. Kemudian aku menelfon suamiku untuk memberitahukan bahwa ternyata dia sudah ditemukan, suamiku pun bergegas menghampirinya untuk dijemput pulang, dan ternyata setelah belanjaannya dibayar diapun lari untuk pulang ke rumah. Seandainya saja anakku membawa uang mungkin saja dia langsung pulang.
Sesampaiya di rumah aku langsung memeluknya dengan perasaan terharu sembari berterima kasih kepada segenap warga yang telah membantu.
Akupun trauma dengan kejadian itu dan memberi batasan kepada anakku untuk bermain diluar tanpa pegawasan.